Berkarier 25 tahun lebih di Freeport Indonesia, Armando kini
menjadi Presdir. Ditempa sebagai orang lapangan, ia menerapkan prinsip
"3M" dan "3 Tangan" dalam memimpin. Apa itu?
Lulus dari
Jurusan Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Palembang,
pada 1982, Armando Mahler semula hanya ingin bekerja sebagai pegawai
Departemen Pertambangan. Ia terpikat menjadi birokrat karena melihat
teman-temannya banyak bekerja di kantor Dinas Pertambangan. Armando sama
sekali tak tertarik bekerja di tempat lain. Maka, pria kelahiran
Palembang, 3 Maret 1955, ini pun memutuskan merantau ke Jakarta dan
memasukkan surat lamaran kerja di kantor salah satu direktorat di
Departemen Pertambangan, Jl. Gatot Subroto, Jakarta.
Sembari
menunggu panggilan, suatu saat Armando melihat iklan lowongan kerja dari
PT Freeport Indonesia di harian Kompas. Ketika itu, Armando tak tahu
sama sekali soal Freeport. Namun, karena panggilan tes dari Dep.
Pertambangan tak kunjung tiba, ia pun mengirim lamaran ke Freeport.
Ternyata dia dipanggil untuk mengikuti tes, dan diterima. Pada 1983
Armando langsung dikirim ke lokasi pertambangan Freeport di Papua untuk
menjalani masa pelatihan.
Teman-teman Armando heran dengan
keputusannya berangkat ke Papua. "Mereka bilang, untuk apa berangkat ke
sana? Bukankah di sana sudah disiapkan peti mati karena lokasi kerjanya
sangat jauh, di hutan lebat, dataran tinggi, dan berhawa sangat dingin?
"Armando berkisah. Namun, dia tetap nekat berangkat. "Pikiran saya wakti
itu, yang namanya mati itu toh bisa di mana saja," kenangnya.
Menjalani
pelatihan selama dua tahun, Armando sempat frustasi. Ia digembleng
begitu keras untuk menjalankan berbagai pekerjaan lapangan, seperti
mengebor, mengangkat peralatan besi, membawa bahan peledak, menjalankan
mesin, dan lain-lain. "Saya benar-benar menjadi kuli. Mulai dari tenaga
mekanik," ungkap Armando. Pekerjaan itu sangat jauh dari apa yang
dibayangkannya. Sewaktu kuliah di Palembang, ia melihat kehidupan
insinyur pertambangan yang bekerja di perusahaan migas nasional tampak
sejahtera dan terjamin. "Bajunya bersih, mobilnya bagus, dan rumahnya
indah," kenang Armando. Hal serupa dilihatnya pada kehidupan insinyur
pertambangan yang bekerja di perusahaan pertambangan nasional, tempat ia
menjalani kuliah praktek, di Sulawesi Tenggara. "Kerja mereka
sepertinya enak, tinggal arahkan sana sini," nilai Armando. Maka,
awalnya Armando mengira bekerja di Freeport pun demikian. Nyatanya
tidak.
Frustasi karena beratnya latihan, belum sampai tiga bulan
di Papua, Armando gelisah ingin kembali ke Jakarta. Kebetulan kala itu
ada panggilan tes dari Departemen Pertambangan. Ia merasa pekerjaan yang
dilakoninya tak sepadan dengan dengan susahnya meraih gelar insinyur
pertambangan. Akan tetapi, setelah menimbang-nimbang, Armando meneguhkan
hati untuk bertahan di Papua. Sejak itulah ia merasa, "Rupanya jodoh
saya memang di Freeport."
Orang Lapangan
Muluskan karier
Armando di Freeport? Tidak juga. Armando bertutur, setelah dua tahun
lebih bekerja di Freeport, ia naik jabatan menjadi superviosr, memiliki
anak buah dan tanggung jawabnya kian berat. Namin, hingga tuujuh tahun
kemudian jabatannya tidak juga naik. Malah ada anak buahnya yang
menyusul naik pangkat satu level lebih tinggi. "Mungkin saya tidak
dipromosikan karena perusahaan menilai tingkah laku saya masih jelek,"
ungkap Armando. Ia bercerita, pernah berkelahi dengan salah satu
atasannya gara-gara membela rekan kerjanya yang dibentak-bentak atasan
karena melakukan kesalahan uang tidak disengaja.
Belajar dari
pengalaman itu, Armando mencoba berintropeksi. "Saya harus memperbaiki
tingkah laku," katanya. Nasihat dari atasan pun mendorong Armando
mengubah perilakunya. Seorang atasannya menasehati, 80% perubahan
perilaku ditentukan oleh Armando sendiri, sedangkan 20% sisanya bari
dari orang lain. Atasan lainnya menyarankan Armando untuk selalu
berpikir dulu sebelum bertindak. "Cara menasihatinya unik. Saya diajak
main catur dengna hanya satu langkah setiap hari, dan saya kalah setelah
bermain selama sebulan. Dari situ ia mengingatkan untuk selalu berpikir
sebelum bertindak," cerita Armando.
Pengalaman kerja bak kuli
selama dua tahun memberinya manfaat. "Pengalaman itu menggembleng mental
saya menjadi lebih kuat," tegasnya. Bahkan, sebagai orang lapangan,
suami Fanny Mahler ini memiliki 70 lisensi atau surat izin
mengoperasikan berbagai alat pertambangan dengan satu lisensi berlaku
untuk satu alat. Diantaranya lisensi sebagai juru ledak. Tak boleh
seseorang menjalankan sebuah alat tambang jika tidak memiliki surat
izin. Kalau ketahuan, langsung dipecat. Mungkin tak banyak orang yang
memiliki lisensi sebanyak Armando mengingat peraturan untuk memperoleh
lisensi itu terbilang ketat dan harus lulus ujian pemerintah. "Hampir
semua alat pertambangan saya bsia operasikan. Itu karena saya mau
belajar dan mencoba mengoperasikan alat-alat baru," ujarnya.
Namun,
prestasi paling membanggakan bagi Armando selama labih dari 25 tahun di
Freeport adalah ketika ia dipercaya bekerja di lokasi pertambangan baru
Freeport di Grasberg pada tahun 1988. IA ditarik kesana untuk membangun
jalan, membersihkan lokasi, dan melakukan drilling and blasting.
Armando bangga karena Grasberg yang mulanya masih berupa gunung kini
menjadi lokasi tambang open pit yang akan habis pada 2015. "Saya
mendapat pengalaman sangat berharga. JArang sekali di Indonesia ada
orang yang mendapat kesempatan menambang mulai dari nol sampai menjadi
lokasi tambang kelas dunia. Nanti saya sumbangkan pengetahuan ini ke
kampus-kampus," kata Armando, yang sampai saat ini masih suka turun
langsung ke lapangan.
Prinsip "3M" dan "3 Tangan"
Kini,
setelah menjadi CEO, Armando menilai bekerja di lapangan atau di dalam
ruangan sebenarnya sama saja. Pasalnya, di lapangan pun ia mengelola
tiga hal: Man, Money, and Machine (3M). "Jadi, saat masih di level
bawah, saya sudah dilatih tentang dasar-dasar manajemen, yaitu bagaimana
mengelola orang, uang, dan mesin," jelasnya. Maka, ketika diserahi
tanggung jawab yang lebih besar, Armando mengaku tidak kaget karena
sudah memiliki dasar-dasarnya. "Dan, yang lebih penting adalah tidak
pesimis dulu dan berani mencoba," tegasnya.
Selain itu, untuk
menjawab kepercayaan yang diberikan kepadanya, Armando menerapkan
prinsip "3 Tangan", yakni campur tangan, buah tangan, dan suratan
tangan. Campur tangan artinya seseorang dalam bekerja membutuhkan
bantuan orang banyak, baik secara fisik maupun non-fisik, seperti doa.
"Orang tidak bias bekerja sendiri," cetus penyuka film Si Pitung ini.
Adapun buah tangan berarti seseorang harus bekerja dengan keras.
Sementara itu, suratan tangan adalah hasil dari campur tangan dan buah
tangan. Ibarat rapor, jika campur tangan bernilai 9 dan buah tangan
bernilai 9, maka rata-rata nilai suratan tangan juga 9. "Jadi, apabila
kerja samanya bagus dan bekerja keras, rapornya pasti akan bagus pula,"
ungkap ayah tiga putri ini.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip itu,
bersama 20.000-an karyawannya, Armando berharap di maswa
kepemimpinannya Freeport bias memberikan pendapatan yang makin besar
untuk negara. Ia lalu memaparkan, sampai September 2007, Freeport biasa
memberikan pendapatan yang semakin besar untuk negara. Ia lalu
memaparkan, sampai September 2007, Freeport membayar kepada pemerintah
senilai hampir US$1,4 miliar (sekitar Rp 12,6 triliun), yakni terdiri
dari pajak (US$1 miliar), royalty (US$ 141 juta), dan dividen (US$216
juta). Jumlah ini lebih besar disbanding periode yang sama 2006 yaitu
US$1,1 miliar. Freeport juga memberikan kontribusi berupa penciptaan
lapangan kerja. "Saya ingin Freeport benar-benar berguna bagi bangsa dan
negara," tandas pengagum Panglima Besar Sudirman ini. Di samping itu,
Armando juga ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Freeport
di Indonesia bisa bekerja dengan tenang, aman, dan hasilnya baik. "Ini
mungkin bisa menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia,"
harapnya.
Nama: Armando Mahler
Tempat, tanggal lahir: Palembang, 3 Maret 1955
Status: Menikah, tiga orang putri
Pendidikan:
Jurusan Pertambangan, Universitas Sriwijaya, Palembang, 1982
Pekerjaan:
* November 2006-sekarang: Presdir dan CEO PT Freeport Indonesia
* Juli 2006-November 2006: Presdir dan GM PT Freeport Indonesia
* 6 Feb 2006-Juni 2006: Deputi Presdir PT Freeport Indonesia
* September 2004-Februari 2006: EVP dan GM PT Freeport Indonesia
* Februari 2002-September 2004: VP Grasberg Mine Service PT Freeport Indonesia
* July 1983-Januari 2002: Manager Grasberg Tambang Terbuka PT Freeport Indonesia
(Sumber : Majalah Warta Ekonomi, 22 Feb 2008)